Saya Khilaf
Keinginan saya untuk singgah sesaat ke padang rumput luas, Tegal Panjang membawa saya kembali menjejaki Gunung Papandayan ketiga kalinya. Libur 1 hari Maulid Nabi di hari Senin tanggal 12 Desember 2016 ingin saya manfaatkan sebaik-baiknya. Maka saya sudah merencanakan berangkat ke Garut pada tanggal 10 nya, walaupun harus berangkat larut karena di tanggal yang sama saya menonton Standup Comedy World Tour "Juru Bicara" Pandji Pragiwaksono, dimana acaranya berakhir pukul 23.00. Dan ternyata bus ke Garut dari Terminal Kampung Rambutan masih ada ketika saya sampai terminal pukul 00.15. Seperti biasa, saya minta ditemani Jems (suami saya) di perjalanan kali ini. Saya tak ingin bercerita panjang lebar lagi mengenai perjalanan dari Jakarta sampai ke Gunung Papandayannya, karena sama seperti sebelum-sebelumnya dan sudah pernah saya ceritakan di blog ini juga.
Papandayan yang saya kunjungi untuk ketiga kalinya, kini sudah berwajah baru, disebabkan pengelolanya sudah berpindah ke tangan swasta PT Astri Indah Lestari (AIL). Harga tiket masuk pun menjadi lebih mahal. Untuk wisatawan dalam negeri, pada saat weekend dikenanakan tarif masuk Rp 30.000, kalau ingin camping ada biaya tambahan lagi Rp 35.000 per orang, tarif ini lebih mahal 10 ribu rupiah dari hari biasa. Namun, tak hanya menaikkan harga tiket, pengelola juga perlahan membenahi kawasan papandayan ini. Contohnya seperti, memperbaiki dan menambah toilet umum, memperbaiki jalan, memperluas lahan parkir, membuat semacam spot foto bertuliskan "Selamat Datang di Taman Wisata Alam Papandayan". Di jalur pendakian sekitar kawah juga sudah dibangun beberapa toilet umum, gazebo untuk beristirahat, juga anak tangga untuk "memuluskan" jalan wisatawan, bahkan pengelola juga membuat anak tangga dari warung-warung yang dulunya pos 1 langsung sampai ke hutan mati. Pos di papandayan juga diubah menjadi 10 pos. Di gerbang masuk saat kita membayar tiket itu pos1, entah pos 2 yang mana, tapi di pos saat kita lapor diri dan menyerahkan ktp itu pos 3, selanjutnya saya kurang memerhatikan, yang saya tahu hanya ketika sampai di ghoberhut itu menjadi pos 9, dan Pondok Salada itu pos 10. Konon kata penjaga-penjaga warung di Papandayan, setelah berganti pengelola dan harga tiket mahal, pengunjung yang datang lebih sepi daripada masa sebelumnya. Dan untuk lebih jelas gambarannya bisa dilihat dalam video berikut ini
Kali ini kami tidak ngecamp di Pondok Salada, tapi hanya di Ghoberhut saja. Karena tujuan kami memang hanya ingin ke Tegal Panjang. Sebelumnya izinkan kami meminta maaf, sebab kami tau ini merupakan kawasan konservasi dan ada baiknya tak dikunjungi manusia agar tetap asri dan lestari. Tetapi kami punya alasan tersendiri untuk tetap mengunjunginya, yaitu : kami tidak ngecamp di Tegal panjang, hanya singgah 15 menit saja untuk sekedar menyaksikan keindahan dan keasrian Tegal Panjang, dari awal kami berjanji tak mengotori Tegal Panjang dengan sampah, dan kami tepati janji itu, dan terakhir kami diantar oleh guide untuk sampai ke Tegal Panjang. Lalu sebagai bentuk kesadaran, kami tidak mempromosikan tempat ini di social media, dan maaf di blog ini pun saya tidak akan berbagi cerita bagaimana jalur untuk sampai kesana, waktu perjalanan, cara mendapatkan guide serta biaya guidenya. Tetapi sayang sekali waktu saya sampai di Tegal Panjang, masih saja ada beberapa pendaki yang ngecamp disana, dan tak sedikit sampah yang ditinggalkan.
dan selama perjalanan pulang dari Tegal panjang ke Ghoberhut kami diguyur hujan deras. Tiba di Ghoberhut pukul 18.30 dan kami belum mendirikan tenda. Perjalanan ini cukup menguras tenaga, sehingga ketika sampai kami langsung memesan indomie rebus di warung tempat kami menitipkan carrier, padahal kami membawa bahan makanan sendiri. Selesai makan hujan pun masih mengguyur, juga disertai angin kencang, sampai-sampai kami mendirikan tenda dibantu oleh bapak pemilik warung, karena tangan kami kaku tak kuat menahan dingin angin yang berhembus. Kami terpaksa tidur dengan kondisi celana yang basah karena kami hanya membawa 1 baju ganti dan celana untuk dipakai setelah turun, Alhasil kami sempat kedinginan di dalam tenda, dan mengupayakan berbagai macam cara untuk meredakan dinginnya. Dari kejadian ini kami belajar untuk tidak meremehkan kondisi cuaca di gunung, kami tak akan hanya membawa 1 baju dan celana saja di pendakian berikutnya. Hujan pun terus mengguyur kawasan Papandayan sampai subuh, sehingga ketika kami bangun pukul 05.30 pagi keesokan harinya, yang ada hanyalah kabut, dan awan gelap menutupi matahari, padahal kami sengaja sudah memilih tempat camp yang tak jauh dari spot melihat sunrise terbaik di Papandayan. Entah kapan lagi kami mendapat momen sunrise di gunung ini, sebab yang pasti untuk bulan atau tahun ke depan kami lebih memilih mendaki gunung yang belum pernah kami jejaki.
Comments
Post a Comment