"PaGuCi" Lengkap!!
Mendaki gunung memang candu. Berulang kali melewati fase lelah, berat beban di pundak, terik matahari menyengat tubuh, makan sederhana seadanya, terkadang kedinginan, tidur beralas tanah yang tak senyaman kasur di rumah, lalu tubuh pegal-pegal setelahnya, tetap saja tak membuat kapok para pendaki, termasuk saya. Ya, karna bagi saya itu hanyalah derita kecil yang tak sebanding dengan cerita, pengalaman, teman, pelajaran dan keindahan yang didapat. Lagipula sebelum mendaki selalu saya biasakan untuk menelusur google atau bertanya ke teman yang sudah pernah kesana, mencari tahu bagaimana medan pendakian, kondisi di sekitar gunungnya, transportasinya dan lain-lain, jadi ketika saya putuskan untuk pergi pastilah saya sudah siap fisik dan mental untuk mendaki dan menanggung resiko yang ada.
Entah mengapa saya percaya setiap orang punya alasan pribadi yang membuatnya terus mendaki atau melakukan perjalanan, lebih dari sekedar alasan keindahan, relasi, mencari pengalaman. Sebab saya pun punya, selain karena memang bukan anak yang betah di rumah ^^ Bermula dari kejenuhan akan rutinitas, lalu hidup yang seolah tak adil dan mengecewakan, ingin melupakan sejenak problematika yang ada, dari sanalah saya mencuci otak, memacu diri sendiri untuk membuktikan bahwa saya bukan wanita manja dan lemah, berjalan menemukan kebahagiaan serta keteduhan sehingga ketika diperhadapkan masalah saya tak gegabah bertindak melainkan tenang mencari jalan keluar, bahkan ketika terlalu berat menanggung masalah tau harus lari kemana (kalau ke Tuhan sudah pasti) agar tetap ada sukacita dan damai sejahtera, dan tidak megalihkannya ke hal-hal negatif.
Mari kita sudahi prolog ini karena terlalu panjang dan terlihat sok berpengalaman haha..
Sekarang saya mulai ya ceritanya..
Setelah terakhir mendaki Prau di Bulan Mei, lumayan lama saya libur mendaki karen mempersiapkan pernikahan dengan sang pujaan hati di tanggal 27 bulan 8 tahun 2016. Juni, Juli ,Agustus menahan diri tanpa kegiatan outdoor. Sampai ada tanggal merah di Bulan September (libur Idul Adha) saya manfaatkan untuk mendaki lagi, tentunya bersama (yang kini sudah menjadi) suami saya. Sempat bingung ingin mendaki Ciremai atau Guntur, beberapa hari kami bergunjing, dengan banyak alasan maka kami lebih memilih mendaki Guntur, sekaligus untuk melengkapi pendakian gunung di garut, seperti judul tulisan ini supaya lengkap menjadi apa yang sering disebut-sebut orang "Paguci" Papandayan, Guntur, Cikuray. Sejujurnya di hati kecil saya ragu apakah saya bisa sampai ke puncak mengingat jalur ke puncak guntur yang terjal miring dan berpasir serta sudah lama tak berolahraga, tapi berhubung sudah direncanakan dan daripada liburan di rumah doang jadilah naik gunung saja.
10 September 2016 jam 6 petang kami berangkat dari rumah, kali ini pilihan kami naik bus primajasa dari terminal lebak bulus (biasanya dari kampung rambutan). Saya baru tau kalau ternyata terminalnya sedang dirombak untuk proyek mrt/lrt, jadilah kami menunggu bus di pinggiran jalan. Bus Primajasa jurusan Garut yang poolnya di Ciputat ini memang beberapa kali lewat, tapi selalu penuh penumpang sampai sudah ada yang berdiri. Jadilah kami selalu menunda-nunda naik busnya. Sampai jam menunjukkan pukul 8 dan kami sudah bosan menunggu bus kosong, kami putuskan untuk request uber x saja menuju Terminal Kampung Rambutan (ujung-ujungnya ke Kampung Rambutan juga). Tak sampai hitungan jam kami sudah sampai di kampung rambutan dan langsung naik bus jurusan Garut.
Berbeda dengan perjalanan ke Papandayan atau Cikuray yang turunnya di terminal Guntur, kalau ingin ke Gunung Guntur ternyata turunnya di SPBU Tanjung yang depannya ada alfamartnya. Pantas saja di Terminal Guntur tidak pernah ditemui pendaki ke gunung Guntur walau letaknya sama-sama di Garut. Di SPBU Tanjung biasanya sudah banyak supir pick up atau tukang ojek yang menawarkan jasanya untuk mengantar pendaki ke basecamp Gunung Guntur. Waktu itu, karena kami sampai di SPBU pukul 1 pagi, ingin cepat-cepat beristirahat lagi di basecamp maka kami memilih untuk menggunakan jasa tukang ojek, hanya membayar 15 ribu rupiah per orang sudah bisa sampai basecamp. Seperti pada umumnya, kalau naik pick up harus menunggu beberapa pendaki lagi baru mobilnya jalan. Harga pick up dan ojek tak jauh beda. Kalau ingin berjalan kaki dari spbu sampai ke basecamp pun bisa, pastinya dengan resiko sampai lebih lama. Jalur yang dilewati pick up/ojek/jalan kaki sama saja, di dekat spbu ada sebuah gang yang cukup lebar sebagai awal mula perjalanan menuju basecamp, selanjutnya tidak terlalu ribet tinggal ikuti saja jalannya, melewati rumah-rumah warga juga perkebunan, ada bagian dimana jalanannya rusak tapi tak sepanjang jalan, nanti setelah melewati perkebunan dan bertemu gapura di sebelah kanan, belok saja masuk gapuranya, jangan ambil yang arah kiri, setelah lewat gapura tersebut maka sebentar saja akan sampai ke basecamp. Kalau naik ojek hanya butuh 20 menit-an dari spbu sampai basecamp, konon katanya kalu jalan kaki butuh waktu 1- 1,5 jam-an tergantung fisik pastinya.
Di basecamp Guntur banyak tempat untuk beristirahat, bisa di bale-bale bisa di rumah warga sekitar yang memang menyediakan tempat beristirahat, kalau bawa kendaraan pribadi motor/mobil disana juga tersedia lahan parkir cukup luas, ada juga warung-warung untuk melengkapi perbekalan yang kurang, wc umum/musholla pastinya ada, dan kalau siang ada tukang sop buah, roti bakar, jus yang berjualan dekat basecamp. Sayang sekali saya lupa untuk memotret keadaan sekitar basecamp.
11 September 2016, kami mulai mendaki pukul 6.30 pagi karena sepengetahuan kami dari cerita pendaki lain, Guntur itu gersang dan panas apalagi kalau sudah jam 11 siang ke atas, maka kami berangkat pagi-pagi saja dengan angan-angan bisa ngecamp di puncak. Pertama-tama kami registrasi di basecamp dengan meniinggalkan ktp/sim sebagai data diri, kemudian nanti di pos berikutnya tak jauh dari basecamp kami harus membayar biaya retribusi pendakian sebesar 21.500 rupiah per orangnya dan diberi semacam tiket masuk, dan tiket ini jangan dibuang sebab nanti di pos 3 akan diperlihatkan lagi.
Jalur pendakiannya cukup jelas, dari pos pembayaran retribusi tinggal ikuti saja arah barisan tiang listrik yang tegak berdiri di pinggiran jalur, di sepanjang jalan nanti akan ditemui beberapa warung-warung kecil menjual minuman dan cemilan, lalu akan melihat tambang pasir beserta alat beratnya di sebelah kiri, kemudian ketika barisan tiang-tiang listrik sudah habis ada petunjuk jalan berupa arah panah, sepanjang jalan juga akan terdengar suara air mengalir dari Curug Citiis, di jalur awal ini kami bisa melihat cikuray di kejauhan serta curug citiis dan tempat camp di atas. Setelah bertemu warung terakhir, jalur yang lebar mulai menyempit, itu berarti sudah mau mulai memasuki kawasan hutan. Berjalan sedikit maka akan bertemu pos 1. Di pos 1 terdapat warung beserta gazebo yang terbuat dari batang bambu, gazebo tersusun rapi dan bagus di bawah pohon rindang, tempatnya juga luas, ada juga wc umum. Setelah melewati pos 1 jalur sangat jelas untuk mencapai basecmp di pos 3. Menuju pos 2, kami harus menyeberang jembatan kayu yang tidak lebar sepanjang kira-kira 4 meter yang pegangannya hanya ada di sisi kiri. Setelah itu terdapat warung, dan jika ingin mandi atau sekedar bermain air di aliran curug cittis juga bisa, karena memang banyak pendaki yang memanfaatkan kehadiran curug Citiis di tengah-tengah jalur pendakian tersebut untuk mandi. Setelah itu kami melewati jalur yang lumayan berat dari pendakian Guntur ini, yaitu jalur yang melewati batu-batu besar tersusun acak seperti tangga untuk sampai ke pos 2 dan setengah perjalanan ke pos 3. Jalurnya sudah tidak hutan lagi, tubuh mulai terkena sengatan matahari, lumayan curam, lutut akan sering bertemu dengan muka. Setelahnya jalur kembali normal berupa tanah pasir dan batu-batu kecil untuk sampi ke pos 3. Di Pos 3 ini bukan hanya tempat camp untuk pendaki tetapi juga seperti rumah untuk para ranger yang bertugas, di pos 3 ini lah tempat tertinggi pendaki untuk berkemah, sebab tidak boleh ngecamp di puncak. Angan-Angan kami untuk ngecamp di puncak juga sirna, bukan hanya karna ada larangan tapi melihat kemiringan jalur menuju puncak dengan medan berpasir saja kami memang sudah tak niat ngecamp di puncak. Saya pribadi tak akan sanggup membawa carrier di pundak harus melewati jalur seperti itu. Kembali ke pos 3, disana juga pendaki diminta menitipkan ktp/simnya kembali untuk pendataan, dan menunjukkan tiket masuk yang tadi dikasih diawal. Di dekat pos pendataan juga ada aliran Curug Citiis yang bisa dilihat dari pos registrasi di bawah, jadi untuk masalah sumber air aman terkendali, tinggal bawa saja drigen atau botol atau panci dan mengisinya di Curug.
jalur awal pendakian |
terlihat puncak guntur di belakang |
disuguhi pemandangan puncak Cikuray diawal |
di pos 1 |
pos 1 (maafkan muka yang kelebaran ini) |
pemandangan dikala hampir sampai ke pos 3 |
Setelah kurang lebih 4 jam mendaki akhirnya kami buka tenda juga, tapi saat itu kami kurang beruntung mendapatkan lahan camp yang miring, tapi tak masalah karena kami juga pernah mengalaminya waktu mendaki Cikuray. Tempat camp di pos 3 sangat luas, tinggal pilih saja mau dimana, yang dekat sumber air, dekat pepohonan, atau dekat dengan jalur menuju puncak. Perlu diinformasikan kalau setelah lewat pos ranger menuju puncak jarang sekali ada pepohonan , kalaupun ada tidak tinggi, hanya ada rumput ilalang yang tinggi-tinggi di jalurnya, dan memang terlihat gersang sekali.
di depan tenda |
pemandangan jalur ke puncak dari pos 3 |
terlihatlah kemiringan jalur menuju puncak |
pemandangan kota Garut dari tempat camp |
12 September 2016, pukul 3 subuh kami sudah terbangun, kami bersiap-siap untuk summit ke puncak 1 dan puncak 2. Fyi, Gunung Guntur punya 5 puncak. Subuh kala itu, langit tak seperti di gunung biasanya yang menampilkan milkyway, tak nampak sejuta bintang mungkin karena langit sedang sendu. Dengan semangat menyaksikan matahari terbit di puncak kami tak pedulikan mendungnya langit subuh itu, berharap awan gelap kembali cerah sehingga matahari tampak. Seperti yang terlihat di foto, jalur menuju puncak sangat miring/curam, dan medannya berpasir yang jika kita melangkah sekali bisa turun 2 kali. Kalau ingin ke puncak ambil jalur agak ke kirian yang lumayan ada rumput-nya bisa untuk berpijak. Pukul 5.30 kami sudah sampai di puncak 1 dan kabut tebal masih saja menghiasi langit, istirahat sejenak lalu kami melanjutkan summit ke puncak 2, 30 menit dari puncak 1. Pagi itu alam seolah menghendaki kami untuk menikmati keteduhannya lewat kabut. Sebab sampai jam 8 kabut juga tak kunjung beranjak pergi. Bagi penikmat sunrise seperti saya, tentu ada sedikit kekecewaan, tetapi tak usah terlalu diambil hati, meresapi kesyahduan alam dikala berkabut juga nikmat kok. Ada pemandangan berbeda yang ditampilkan :)
Menanjak menuju puncak 2 |
ada di puncak 2 |
si runcing Cikuray |
saat kabut pergi sejenak untuk kembali |
terlihat papandayan di sebelah sana |
background : puncak 3 Gunung Guntur |
Karena jalurnya berpasir, maka waktu turun akan jauh lebih cepat dibanding naik, bahkan bisa untuk lari atau perosotan, tapi perlu ekstra hati-hati, kalau tidak bisa terguling-guling entah kemana. Banyak pendaki yang celana bagian bokongnya kotor setelah turun dari puncak, karena terjatuh saat turun tidak cuma sekali dua kali, dan saya pun mengalaminya, sangat wajar mengingat jalur pasir yang licin itu. Beginilah gambarannya :
dan karena jalur naik turun yang sangat curam dan ada batu-batuannya inilah membuat sepatu yang telah menemani saya mendaki 7 gunung lainnya akhirnya gugur juga
Untuk kembali ke jakarta kami harus naik bus dari terminal Guntur, sebenarnya sih bisa naik dari spbu Tanjung tapi kami takut sudah penuh dari terminal dan tidak kebagian tempat duduk. Karna kami tak sabar ingin bersih bersih di wc umum di depan terminal guntur yang kebersihannya terjaga maka kami memilih naik ojek. sebenarnya tak ada tukang ojek yang menawarkan, adanya pick up, tapi saya bertanya kepada ibu warung di dekat basecamp apakah ada ojek yang bisa mengantar sampai terminal, lalu ibu tersebut memanggil anaknya, dan anaknya memanggil temannya, mereka bersedia mengantar kami dan hanya mematok harga 25 ribu rupiah per orang untuk sampai ke terminal, kami pun menyetujuinya. Dengan jarak yang lumayan jauh, harga tersebut termasuk murah menurut kami. Kira-kira seperti naik ojek online di jakarta yang tarifnya lebih murah hehe
Sebelum menutup cerita ini, saya sedikit ingin menyampaikan dukacita kami mendengar kabar bahwa seminggu setelah kepulangan kami dari Guntur, Garut dilanda bencana alam banjir bandang yang menelan korban jiwa juga menimbulkan banyak kerugian untuk warganya. Semoga proses pemulihan kota Garut berjalan lancar dan warga Garut dan sanak saudara diberi ketabahan dan kekuatan. Amin
Comments
Post a Comment