Papandayan untuk kedua kalinya
Pendakian kali ini saya ditemani kekasih saya (dimana pada saat menulis ini sudah menjadi suami saya :D ). Setelah pendakian yang pertama gagal mencapai Tegal Alun, maka di pendakian kali ini saya bertekad keras harus mencapai Tegal Alun, karena saya tak mau hanya melihat keindahannya dari internet saja atau dari kata orang saja, saya harus menikmati keindahannya dengan mata sendiri. 11 Maret - 13 Maret tahun 2016 menjadi waktu pilihan kami untuk mendaki. Seperti biasa jika ingin ke Garut, kami memulai perjalanan ini dari Terminal Kampung Rambutan lalu naik bus menuju Terminal Guntur, Garut. Untuk mencapai basecamp Papandayan kami lanjutkan dengan naik angkot ke Desa Cisurupan disambung naik pick up ke basecamp. Lama perjalanan dan biaya perjalanan kurang lebih sama dengan pendakian pertama yang sudah jelaskan di tulisan sebelumnya mengenai camp di Papandayan. Mungkin yang sedikit berbeda hanya retribusi untuk memasuki kawasan Papandayan, konon menurut kabar yang beredar setelah lebaran tahun ini biaya retribusi masuk Papandayan melonjak tinggi, untuk tiket masuk saja Rp 65.000 per orang belum lagi ada biaya untuk kemah Rp 35.000 per malam, serta parkir kendaraan yang bisa mencapai Rp 20.000 , dikarenakan sudah berbeda pengelolanya. Sampai saat tulisan ini di publish saya masih belum mengetahui apakah biaya-biaya tersebut sudah diturunkan kembali, sebab banyak warga maupun pendaki yang keberatan.
Singkat cerita, pukul 8 pagi tangal 12 Maret saya sudah mulai melangkahkan kaki dari basecamp menuju kawah Papandayan, yang kemudian +/- 3,5 jam setelahnya saya sudah berada di Pondok Salada tempat para pendaki mendirikan kemahnya. Di pertigaan sebelum ke Pondok Salada, kami dan pendaki lainnya diwajibkan melapor diri kembali dan diminta sumbangan seikhlasnya untuk kebersihan dan keamanan. Suasana di Pondok Salada masih sama, ada beberapa warung menjual makanan dan minuman, juga beberapa tukang bakso cilok, serta ada musholla dan wc umum yang kebersihannya terjaga, jadi tak perlu kawatir akan persedian makanan dan air. Walau begitu, kami tetap lebih memilih membawa air minum dari basecamp, sebab di Pondok Salada harganya lebih mahal, kami juga membawa bekal dari basecamp, nasi goreng dengan telur untuk makan siang kami di tempat camp. Setelah makan siang, kami lebih memilih tidur dan istirahat untuk memulihakn stamina karena jam 3 sorenya kami merencanakan untuk ke Tegal Alun, yang kata orang-orang hanya memerlukan waktu 1,5 jam saja dari Pondok Salada. Jam 2 siang kami sudah bangun dari tidur siang kami dan bersiap-siap untuk ke Tegal Alun. Dari Pondok Salada kami jalan mengikuti petunjuk berupa tali rafia berwarna diikat di batang pohon untuk sampai ke Tegal Alun, yang sampai akhirnya membawa kami melewati jalur bebatuan, karena treknya cukup curam dan jika memijak tanah akan sangat licin dan mudah tergelincir. 1,5 jam berlalu tak muncul juga Tegal Alun di mata kami, kami mulai lelah dan bertanya-tanya apakah kami nyasar atau tidak, sebab sore itu hanya ada kami berdua yang menuju Tegal Alun melalui jalur itu, tapi masih ada petunjuk jalan tali rafia berwarna diikat di batang-batang pohon. Kami memutuskan untuk terus berjalan mengikuti tanda tersebut, 10 menit kemudian kami sampai di kawasan yang lumayan banyak edelweis nya, lalu kami berhenti disini karena kami pikir mungkin ini Tegal Alun, tapi saya pribadi meragukannya, sebab sepengetahuan saya dari internet Tegal Alun itu sangat luas dan memang banyak edelweis disana. Akhirnya kami putuskan untuk berfoto saja di tempat itu kalau-kalau kami tidak bertemu Tegal Alun , karena di tempat itu edelweis juga banyak tumbuh. Karena tidak ada orang yang bisa ditanyakan juga, maka selesai foto kami putuskan kembali ke tempat camp sebelum gelap datang.
menuju kawah Papandayan |
dalam perjlanan menuju "Tegal Alun" |
ini yang tadinya kami kira sebagai Tegal Alun |
Pukul 5 sore kami sudah berada kembali di Pondok Salada lalu kami duduk-duduk santai di warung dekat tenda sambil menikmati teh manis hangat serta syahdunya kabut sore. Tak lupa kami mengobrol dengan bapak penjaga warung menanyakan tentang Tegal Alun. Ternyata benar, kami salah perkiraan, tempat foto-foto tadi bukanlah Tegal Alun, Tegal Alun masih naik ke atas lagi, dan sayangnya kami menyerah di tengah jalan dan terpaksa merencanakan bangun subuh esok harinya untuk melihat matahari terbit dan bergegas ke Tegal Alun yang sesungguhnya. Pukul 6 sore saya sudah memasak menyiapkan makan malam untuk kami berdua, sederhana saja hanya nasi, sarden dan sosis. Selesai makan sampai malam tiba kami hanya meringkuk di tenda saja sebab diluar hujan kecil. Kami memasang alarm pukul 4.30 pagi karena ingin menyaksikan matahari terbit dari hutan mati, yang jaraknya tidak jauh dari Pondok Salada. Esok paginya, kami sudah berada di hutan mati pukul 5.15 dan siap menanti fajar pagi. Namun, pagi itu kami tidak bisa mendapatkan gambar matahari terbit yang sempurna karena sebagian masih tertutup bukit. Katanya jika ingin mendapat gambar yang bagus lihatnya dari Pos 2 atau di dekat pertigaan sebelum ke Pondok Salada.
ini mataharinya sudah agak naik |
di hutan mati |
Setelah matahari pagi naik dan memancarkan sinar terang, kami pun meninggalkan area hutan mati dan bergegas menuju Tegal Alun mengikuti pendaki lain agar kami tidak tersasar lagi. Dari arah hutan mati berjalan saja menuju arah balik ke Pondok Salada, namun di tengah perjalanannya kami mengambil arah ke kiri mengikuti pendaki lain yang juga menuju ke Tegal Alun (maaf saya lupa patokan untuk beloknya dimana), dan jalur itu sungguh menanjak curam dan tergolong ekstrim menurut saya. Jalurnya berupa tanah lembab dan licin (atau mungkin karena semalam habis diguyur hujan), tapi masih bisa mengandalkan batang-batang pohon untuk pegangan. Sampai ke Tegal Alun jalurnya seperti itu tidak berubah, ikuti saja petunjuk tali rafia berwarna yang diikat di batang pohon maka bisa sampai ke Tegal Alun. Kami menempuh perjalanannya dalam waktu +/- 2 jam. Suasana dan pemandangan di Tegal Alun sungguh memuaskan kami, membayar jerih lelah perjalanan. Benar-benar luas, benar-benar indah menyegarkan mata dan jiwa~
ada bendungan air seperti danau di kawasan Tegal Alun |
Setelah puas menyusuri Tegal Alun, kami beranjak kembali ke Pondok Salada melalui jalur yang berbeda dengan jalur naik, sebab kalau melalui jalur yang sama akan kembali ke hutan mati, dan jalur turun kami sedikit lebih manusiawi dibanding jalur naiknya, trek masih berupa tanah lembap dan sama saja tinggal mengikuti petunjuk tali rafia, lalu sekitar 45 menit kami sudah tiba di kemah kami, seperti biasa turun lebih cepat dibanding naiknya. Setelahnya kami sarapan lalu berkemas bersiap turun lalu pulang ke rumah. Jalur yang di tempuh sama dengan jalur saat pergi :)
oiyaa, jangan lupa membawa perbekalan air minum jika ingin summit ke puncak atau Tegal Alun.
Papandayannya tetap sama seperti sebelumnya, tapi kali ini ceritanya berbeda :)
Comments
Post a Comment