Menjajal Merbabu
Jingga hadir di setiap perjalanan pulang saya menuju rumah, menghiasi pemandangan jalan yang sesak akan kendaraan bermotor. Jingga yang indah menjadi kebahagiaan tersendiri di tengah hiruk pikuk kota Jakarta. Namun, kala itu di bulan Desember 2015, jingga tak selalu hadir. Sudah 5 kali sore saya lalui tanpa jingga, awan kelabu menggantikan posisinya. Dari lubuk hati, rindu akan jingga menyeruak ke pikiran. Jinga jingga jingga dan senja saja yang melekat.. Ya jingga itu langit senja, ia membawa anganku melayang dan bertambat di suatu tempat, yaitu alam dengan sabana rumput yang hijau luas dan menyejukkan, langit biru yang sangat cerah, dan awan putih halus menggulung dimana tubuh ini lebih tinggi darinya dan seakan bisa menyentuhnya, juga jingga yang memukau mata ini lebih dari biasanya. Seketika itu juga nama Merbabu melintas di benak saya. Tak ingin mengabaikan angan ini, saya menghubungi kekasih memintanya menemani saya untuk meraih kembali pesona si jingga yang lebih indah di tempat seperti yang tergambarkan dalam angan itu. Tak ada sanggahan darinya, sehingga saya langsung memutuskan untuk menapaki merbabu di penghujung tahun 2015, tepat di hari terakhir tahun itu, sekaligus merayakan pergantian tahun di atas gunung.
Selepas berlibur dari Jogja, kami bergegas kembali ke rumah kakek dan nenek saya di Solo untuk segera mengemasi barang-barang pendakian kami. Esok harinya, saat fajar belum nampak, kami sudah bangun, menyiapkan diri lalu segera berpamitan. Dari rumah kakek nenek di kampung ketelan, Solo, kami hanya butuh menumpang becak sampai di Terminal Tirtonadi, lalu naik bus ke Terminal Boyolali, waktu yang di tempuh tidak lama, sekitar 1 jam saja. Kaki sudah tak sabar untuk mendaki, namun hati harus bersabar sebab pagi itu baru ada kami berdua yang ingin naik bus ke basecamp jalur Selo, harus dapat setidaknya 7 orang lagi agar supir bus mau mengangkut kami. 30 menit menunggu tak juga nampang batang hidung pendaki lain, kami sudah berniat naik ojek yang ada di depan terminal, tetapi kami urungkan niat itu sebab tukang ojek meminta ongkos 70 ribu rupiah untuk mengantar kami. Bila dibandingkan dengan ongkos naik bus jauh berbeda. Setelah 1 jam menunggu akhirnya sekelumit harapan tiba. Ada 1 rombongan pendaki berisi 6 orang yang mempunyai tujuan yang sama seperti kami, jadi kami hanya butuh menunggu 2 orang lagi dan itu tidak lama. Kurang lebih 1 jam kemudian kami sudah sampai di Desa Selo, lalu berganti angkutan ke pick up untuk sampai ke basecamp pendakian Gunung Merbabu Via Selo. Retribusinya hanya 15 ribu rupiah per orang, dan kami diberi 3 karcis yang sama per orang, entah untuk apa diberi 3. Sampai basecamp kami sarapan dengan nasi goreng dan telur mata sapi, lalu membungkus nasi dan membeli air mineral untuk bekal berkemah. Pukul 10 tepat kami memulai pendakian.
Untuk sampai ke puncak, kami melewati 6 titik peristirahatan sejenak, yaitu 4 pos dan 2 sabana. Pos 1 Dok Malang, Pos 2 Pandean, Pos 3 Watu Tulis, sabana 1, sabana 2, Pos 4 Watu Lumpang, lalu setelahnya puncak Merbabu. Perjalanan dari basecamp sampai pos 1 sangatlah menyenangkan dan seolah memberi harapan palsu, sebab medannya datar saja serta teduh sekali melewati hutan beralaskan tanah yang jika hujan sangat licin. Ketika sudah melewati pos 1 bersiaplah..
Mengapa? silakan kalian nikmati sendiri sensasi dari pos 2 menuju puncak Gunung Merbabu :)
Hati-hati bila hujan turun. Jalur pendakian setelah lewat pos 1 sampai ke pos 3 akan menjadi jalur arus air hujan yang mengalir dari ketinggian, sangat berbahaya sekali bila tak berhati-hati. Kami berdua mengalaminya, diguyur hujan di tengah perjalanan dari pos 2 menuju pos 3, betapa mengerikannya jalur ini jika hujan deras datang.
Selangkah demi selangkah kaki ini berpindah, tak terasa sudah sampai di sabana 1, sudah pukul 4 sore saat saya melihat jam tangan kekasih. Rehat sejenak seraya merundingkan apakah akan berkemah di sabana 1 atau sabana 2. Keputusan ada di tangan saya, karena saat itu fisik saya terkuras habis dan melihat kemiringan jalur pendakian ke sabana 2 juga menyurutkan semangat melangkah, jadi lebih baik mendirikan tenda di sabana 1 saja. Setelah tenda kokoh berdiri, kami menikmati pemandangan alam serta suasana kemah bersama. Bergandeng tangan menyusuri padang rumput yang luas, merebahkan diri diatas rumput, berdiri menghadap merapi, lalu kembali menikmati senja jingga nan indah di ketinggian seperti angan-angan terdahulu, tak lupa kami bertegur sapa dengan pendaki lain. Begitulah kami menghabisakan waktu sore itu.
tempat camp di sabana 1 cukup luas |
di sabana 2 |
Senja Jingga |
pemandangan dari sabana 1 |
Gunung Merapi dari sabana 1 |
Selain senja jingga yang saya nantikan, fajar dengan rona jingga pun tak ingin saya lewatkan, saya ingin menyaksikannya dari puncak Merbabu. Dengan pertimbangan langit yang masih gelap serta stamina sudah tak 100% lagi, alarm di telepon genggam pun saya pasang pukul 03.30 subuh tanda kami memulai pendakian ke puncak. Tepat sesuai yang direncanakan, kami mulai melangkah lagi. Stamina boleh menurun, teteapi semangat tak akan surut. Walau sempat mual di sabana 2 dan hanya bisa menyaksikan fajar di tengah perjalanan dari pos terakhir menuju puncak saja, kami sangat bersukacita dan bangga akan perjalanan kami ini. Perlahan tapi pasti, pukul 06.30 pagi kami sudah berada di Puncak Keteng Songo, Gunung Merbabu. Tuhan Semesta alam dan kekasih membantu saya mencapai titik 3142 Mdpl ini :)
Sorak semarai para pendaki terdengar gagah, tak sedikit yang menyetuhkan kening ke tanah tanda sujud syukur atas pencapainnya, beberapa saling menyalami keberhasilan pendaki lain. Lalu saya terdiam sejenak melihat sekeliling, betapa mengagumkannya mahakarya Tuhan bernama Merbabu ini, padang rumput hijau segar yang membentang luas, gerombolan awan putih yang bergerak beriringan, Gunung Merapi yang terlihat jelas, beberapa puncak gunung yang nampak gagah, langit biru cerah tanpa polusi, serta sejuta bintang di malam hari, keseluruhannya akan selalu terngiang di pikiran dan sanubari setiap pendaki yang pernah mengunjunginya. BREATHTAKING VIEWS!
Comments
Post a Comment