Camp Ceria di Papandayan, 2622 mdpl

Hari itu, Kamis 25 Desember 2014, saya bersama 2 orang teman wanita saya (Sancai dan Tia) sudah janjian untuk bertemu di halte Busway Cawang Uki untuk selanjutnya menuju Terminal Kampung Rambutan dan mendaki Papandayan. Hari itu saya yang seorang kristiani, mendahulukan beribadah natal di gereja sebelum berangkat ke Kampung Rambutan pada malam harinya. Acara natal di gereja saya diadakan di Hotel Santika, petamburan pukul 19.00 dan atas dasar pertimbangan waktu itulah, saya ke gereja menggunakan dress dan sepatu hak tinggi tetapi membawa carrier di punggung. Seusai gereja saya langsung berganti baju dan alas kaki dan saya titipkan di mobil teman, kemudian saya diantar menuju halte busway Slipi petamburan untuk naik bus Transjakarta menuju halte Cawang Uki untuk ganti bus ke arah Terminal Kampung Rambutan, yang juga merupakan meeting point saya, Sancai, dan Tia (tidak ada busway yang langsung slipi - Kampung Rambutan). Sekitar pukul 22.00 kami sudah sampai di Terminal Kampung Rambutan, lalu kami menunggu bus tujuan Garut di pintu keluar terminal. Setelah lama menunggu, kira-kira pukul 23.30 bus tujuan Garut baru terlihat, dan kami langsung naik. Saat itu terlihat banyak teman-teman pendaki yang naik bus tujuan Garut ini juga, bedanya hanya rombongan saya yang berisi wanita semua, kalau rombongan lain lebih dari 5 orang, kami hanya bertiga. Rombongan lain seluruh anggotanya membawa carrier, rombongan kami hanya saya saja yang memakai carrier, 2 orang sisanya hanya memikul daypack. 


#HidupWanita


inilah carrier 60 L yang siap saya pikul


Jumat, 26 Desember 2014

Waktu menunjukkan pukul 03.30 ketika kami sampai di Terminal Guntur, Garut. Setelah mengambil tas dari bagasi bus, kami bergegas menuju wc umum yang persis ada di seberang terminal untuk menyiapkan pakaian dan sepatu kami untuk pendakian. pukul 04.30 kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan kami ke Desa Cisurupan, tempat Gunung Papandayan berada. Dari depan wc umum tadi, sudah banyak supir angkutan yang menawari para pendaki untuk menuju Papandayan maupun Cikuray. Tak pikir panjang, kami langsung naik salah satu angkot yang sudah terisi beberapa orang agar bisa langsung jalan. 30 menit perjalanan, kami sampai di Desa Cisurupan, tepatnya di sebuah masjid. Di masjid itu pula, terlihat banyak pendaki yang mengistirahatkan tubuhnya sejenak demi memaksimalkan staminanya saat mendaki. Dari masjid tersebut kami harus berganti kendaraan mobil pick up  untuk menyambung perjalanan kami menuju basecamp Papandayan, Camp David. Beruntunglah saat itu sudah ada 1 rombongan berisi 7 orang yang sudah siap untuk berangkat, sehingga kami langsung bergabung bersama mereka untuk sharing cost menuju Camp David. Kurang lebih pukul 6 pagi kami sudah sampai di Camp David, berupa area parkir kendaraan yang luas beralaskan pasir dan tanah, serta banyak warga desa membuka usaha warung disana, dan ada beberapa wc umum. Di tempat ini pula, para pendaki termasuk kami harus melaporkan diri dan membayar retribusi pendakian. Setelah urusan in selesai, kami langsung mengisi perut kami demi kelancaran pendakian, dan tak lupa membeli air minum untuk bekal pendakian. Kira-kira pukul 7 pagi kami sudah siap mendaki dan tak lupa memanjatkan doa kepada Sang Empunya Alam Semesta.

Saya
Camp David




Tia
Camp David


Sancai
Camp David


Trek awal pendakian ini didominasi oleh bebatuan dan pasir serta medan yang masih datar, sedikit saja menanjaknya dan begitu seterusnya sampai bertemu Kawah Papandayan, dimana di spot ini banyak orang berfoto ria. Tak jauh dari kawah, berdiri sebuah warung dimana para pendaki dapat mengisi kebutuhan perut mereka atau sekedar beristirahat dan melepas dahaga, bahkan kami juga menjumpai pedagang bakso cilok di dekat warung tersebut.

Seperti inilah trek awal pendakian

salah satu cara menikmati pendakian ialah berfoto ria

dari jalur awal pendakian tampak Gunung Cikuray bersembunyi

pemandangan di awal pendakian

pemandangan sebelum sampai kawah

dan inilah kawan Papandayan,
masih didominasi trek bebatuan

Setelah melewati kawah dan warung ini, kami langsung menuju tempat camp Pondok Saladah. Medan menuju Pondok Saladah bermacam-macam, mulai dari tanah datar, tanjakan didominasi batu-batuan dengan kemiringan sekitar 60 derajat (menurut saya), di tengah perjalanan ada sungai kecil yang harus dilewati, karena kami mendaki saat musim hujan, otomatis sungai tersebut airnya tinggi dan mengalir cukup deras (karena konon katanya,kalau musim kemarau, sungainya kering). jadilah setelah melewati sungai, sepatu kami basah, itupun sudah dibantu dengan hanya menginjak batu-batu yang ada di sungai tersebut untuk menyeberangnya demi sampai ke Pondok Saladah,
Berjalan 10 menit setelah melewati sungai ini, kami bertemu dengan 1 rombongan yang berisi 7 orang laki-laki. Salah satu dari mereka menyapa kami terlebih dahulu, "bertiga aja neng?" tanyanya. Dengan ramah kami meladeni pertanyaannya, dan kemudian mereka mengajak kami untuk bareng dengan rombongannya. Kami pun langsung meng-iya-kan ajakan mereka karena memang menyadari kami hanya bertiga, wanita dan pendaki pemula. Sealama perjalanan kami banyak bercengkerama dengan para lelaki ini, yang ternyata mereka sudah mendaki beberapa gunung tinggi sebelumnya, sementara ke Papandayan mereka menyebutnya dengan "Camp Ceria". Cuaca saat itu pun sedikit hujan sehingga trek menjadi licin. Namun, ada suatu pemandangan luar bisa yang kami lihat di jalur pendakian yang licin, menanjak, dan penuh batu-batu besar, yaitu ada seorang lelaki dengan motornya yang mirip seperti motorcross melewati jalur tersebut dengan membawa banyak telur dan pisang menuju tempat camp, sampai kami terheran dan berkata inilah pembalap yang sesungguhnya..

sebagian dari para lelaki gagah yang membantu kami

inilah mereka yang komplit, dan...
selamat datang teman-teman baru :)

Penunjuk jalan sebelum ke Pondok Saladah

Detik-detik tiba di Pondok Saladah


Singkat cerita, sampailah kami di Pondok Saladah (tempat camp para pendaki) jam 1 siang, lalu kami langsung mengeluarkan tenda kami, dan..... kami pendaki cantik yang bertiga ini hanya bisa mengutak-ngatik tenda tanpa berhasil memasangnya. Jadilah rombongan pendaki gagah itu membantu kami mendirikan tenda.. Saya selalu percaya di gunung banyak orang baik dan tanpa ragu rela menolong :)

Sampai Pondok Saladah Bongkar isi carrier

Dan setelah tenda berdiri, saya baru sadar kalau tenda yang saya bawa itu sebenernya lebih nyaman untuk 2 orang, apalagi dengan ukuran tubuh yang sebesar saya dan Tia, tenda itu sempit sekali untuk bertiga, tapi ya mau tidak mau kami harus masuk bertiga di tenda itu, karena tidak mungkin salah satu dari kami dioper ke tenda lelaki gagah itu atau tidur diluar hanya memakai sleeping bag. Tapi kami tak ribut sama sekali untuk urusan tenda, lalu kami langsung mengeluarkan perlatan masak dan logistik kamu demi mencapai kenikmatan.
Iya kenikmatan.. sebab apa yang lebih nikmat dibanding makan indomie di atas gunung yang dingin dengan pemandangan permadani hijau bersama alunan musik band-band indie yang nada dan liriknya serasi dengan situasi di gunung, dan apa yang lebih nikmat dibanding menyeruput kopi atau teh panas dalam kondisi dingin yang menusuk ke tulang...

Mengenai Pondok Saladah, tempat camp ini sangat memberikan kenyamanan buat para pendakinya. Di pondok Saladah ada wc umum yang lumayan bersih  dengan air yang sangat dingin berjumlah 3, air di wc pun mengalir terus tiada henti (jelas karna langsung bersumber dari gunung), lalu tak jauh dari sisi wc ada pancuran air yang biasa dipakai untuk mencuci alat masak dan alat makan yang sudah kotor, bisa jugauntuk sekedar cuci muka, pancuran ini berjumlah 6. Yang lebih istimewa lagi adalah kalau teman-teman pendaki tidak membawa logistik dan alat masak pun tidak akan kelaparan dan kehausan asal membawa uang yang cukup, karena ada warung yang menjual makanan dan minuman khas pegunungan, bahkan ada pedagang bakso cilok juga menjajakan dagangannya. Kalau tidak salah ingat ada 2 warung disana.

yang merah kecil itu tenda saya, Tia, dan Sancai

Wajah Pondok Saladah Sore itu


Masih dari Pondok Saladah



Setelah kami selesai mengisi kebutuhan jasmani dan beres-beres, siang sampai malam hanya kami habiskan dengan tidur, ngobrol, foto-foto, jajan, kemudian memasak lagi untuk makan malam. Kami mengurungkan niat kami untuk pergi ke hutan mati, sebab saat itu sepanjang siang hingga sore gerimis kecil turun disertai dengan kabut tebal sehingga jarak pandang kami terbatas (beginilah kondisi jika mendaki di musim hujan). Lalu ketika malam tiba, kami isi waktu kami dengan bermain kartu, bermain sambung lagu, bernyanyi ria hingga kami terlelap dan siap untuk menyambut mentari esok paginya.

Ternyata besok paginya pun, Gunung papandayan masih diselimuti kabut tebal sehingga kami yang awalnya ingin cepat-cepat ke hutan mati untuk melihat matahari terbit membatalkan niat kami, karena pasti tak nampak sunrise di cuaca seperti itu. Jadilah kami memasak lalu menyantap sarapan kami terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan perjalanan ke hutan mati. Dari kami bersepuluh, ada 2 orang lelaki yang tidak ikut ke hutan mati, sebab medan magnet sleeping bag dan matras mereka menarik kuat tubuh sehingga berat melangkahkan kaki keluar tenda dan melanjutkan perjalanan di cuaca yang dingin dan berkabut, akhirnya mereka memilih menjaga tenda sambil berleha-leha

Dari Pondok Saladah ke Hutan Mati tidak membutuhkan waktu lama, medan pun tak terlalu sulit, hanya saja jika musim hujan, jalur menjadi becek banyak genangan air dan membuat langkah kaki menjadi berat karena banyak tanah menempel di sepatu. Kurang dari 1 jam kami sudah sampai di Hutan mati. Kondisi disana benar-benar seperti namanya, hutan dengan banyak batang pohon tanpa daun dan beralaskan tanah putih yang konon katanya bekas abu vulkanik letusan gunung, di beberapa bagian terdapat sungai kecil. Lalu diujung hutan kita dapat melihat kawah Papandayan langsung.

penampakan hutan mati dari kejauhan





konon katanya di spot inilah yang biasanya digunakan untuk melihat sunrise
WE LOVE INDONESIA


Saya, Tia, Sancai bersama 1 orang dari rombongan lelaku (sebut saja bule), lebih memilih ke hutan mati terlebih dahulu baru ke padang edelweis Tegal Alun, sementara para laki-laki yang lain memilih untuk ke Tegal Alun langsung. Setelah selesai menagabadikan gambar di hutan mati, ternyata si bule tidak mau mengantar kami para wanita ini ke Tegal Alun dengan alasan dia hanya memakai sandal jepit, sementara medan pendakian ke Tegal Alun licin dan menanjak, ditambah kami kurang beruntung, karena saat itu tidak ada pendaki lain yang ingin ke Tegal Alun sebab langit sudah gelap dan kemungkinan akan turun hujan lebat, jadilah kami tidak sampai ke Tegal Alun hanya sampai hutan mati saja lalu kembali ke Pondok Saladah, tak lupa kami berfoto ria bersama tanaman edelweis yang ada di dekat Pondok Saladah, memang tak sebanyak yang ada di Tegal Alun ,tapi setidaknya dapat mengobati kecewa kami.




Sampai di Pondok Saladah kami kembali mengisi perut kami, lalu membereskan barang-barang dan packing berisap untuk turun. Ketika kami packing, hujan lebat pun turun dan akhirnya kami semua meneduh di warung dekat tenda kami. Hujan turun cukup lama, lallu kami sepakat sampai jam 2 siang, berhenti atau tidak kami tetap melanjutkan perjalanan turun untuk mengejar kendaraan sampai Terminal Guntur.

Kami turun melalui jalur yang sama dengan jalur saat naik. Tiba di camp david sekitar jam 6 petang, lalu kami langsung naik mobil pick up yang ada untuk mengantar kami sampai ke masjid di Desa Cisurupan, barulah disana kami membersihkan diri kami. Jam 8 malam kami selesai bersih-bersih, langsung mencari angkot ke arah terminal dan melanjutkan bus menuju Kampung Rambutan, Jakarta.

Perjalanan kami usai, namun tak demikian dengan pertemanan kami..
Kami terus menjalin silaturahmi, setelah Papandayan ada beberapa tempat yang kami kunjungi bersama. Kelak kan ada kisahnya di blog ini juga :)

Note :

  • Bus Kampung Rambutan - Guntur, Garut = Rp 52.000, kalau rombongan banyak bisa minta potongan harga jadi Rp 50.000
  • Perjalanan Kampung Rambutan-Garut ditempuh dalam waktu +/- 5 jam kalau tidak macet
  • Angkot dari Terminal Guntur - Masjid di desa Cisurupan Rp 10.000, lama perjalanan +/- 30 menit. Toilet masjid lumayan bersih
  • Pick Up dari Desa Cisurupan - Camp David = Rp 10.000-Rp20.000, waktu tempuh +/- 30 menit
  • Retribusi Papandayan Rp 5.000
  • Di Camp David ada 2 wc umum, kondisinya selayaknya wc umum
  • untuk info medan pendakian sudah tertera di tulisan diatas ya :)
  • dan ingat harga-harga yang disebutkan ialah saat Desember 2014, sekarang mungkin saja berbeda

Dear Papandayan yang indah,

Suatu saat aku akan kembali untuk melihat betapa mempesonanya padang edelweismu, walau mungkin kondisinya sudah tak sama lagi karena ulah manusia yang merusaknya. Pegang janjiku, kelak aku akan menginjakan kakiku di Tegal Alun. 

HATUR NUHUN PAPANDAYAN GEULIS^^



Comments

Popular posts from this blog

Mendaki Gunung Slamet via Bambangan

Short Escape ke Purwakarta

Cibodas-Cipanas on the weekend